Diskusi Publik “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” ILUNI UI: Pembuktian Terbalik, Safeguards Hukum Acara, dan Perlindungan Pihak Ketiga Jadi Sorotan
October 24, 2025 2025-10-24 16:46Diskusi Publik “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” ILUNI UI: Pembuktian Terbalik, Safeguards Hukum Acara, dan Perlindungan Pihak Ketiga Jadi Sorotan

Diskusi Publik “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” ILUNI UI: Pembuktian Terbalik, Safeguards Hukum Acara, dan Perlindungan Pihak Ketiga Jadi Sorotan
Depok, Kamis, 23 Oktober 2025 — Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) bersama Bidang Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Djokosoetono Research Center (DRC), ILUNI FHUI, dan Pascasarjana FHUI menyelenggarakan Diskusi Publik bertajuk “Quo Vadis RUU Perampasan Aset” di Ruang Multimedia S&T, Fakultas Hukum UI. Acara ini menghadirkan para pakar dan praktisi hukum dalam satu sesi yang dimoderatori oleh Kaylanitha Syailendra.
Dr. Endah Hartati, S.H., M.H., Wakil Dekan I FH UI, menegaskan peran moral dan intelektual kampus dalam proses pembentukan hukum nasional. “Sebagai lembaga pendidikan hukum tertua di Indonesia, Fakultas Hukum UI memiliki tanggung jawab moral dan intelektual untuk berperan aktif dalam pembentukan hukum nasional,” ujar Endah.
Ia menambahkan bahwa tema diskusi ini lahir dari keprihatinan sekaligus optimisme akademik terhadap dinamika penyusunan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset. “Kejahatan ekonomi dan korupsi telah menimbulkan kerugian besar bagi negara dan masyarakat. Upaya pengembalian aset hasil kejahatan merupakan bagian penting dari strategi pemberantasan korupsi dan pemulihan integritas sistem hukum,” lanjutnya.
Dr. Muhammad Yusuf, S.H., M.M., Ketua PPATK 2011–2016, menyoroti desain pengaturan illicit enrichment dan arah pembuktian dalam perampasan aset. “Ini persoalan pidana. Jika konsepnya ditarik ke ranah perdata, jaksa akan kesulitan membuktikan,” tegas Yusuf.
Yusuf mendorong agar pendekatan yang diambil adalah pendekatan pidana dengan sistem pembuktian terbalik. Menurutnya, rezim pengembalian aset tidak hanya relevan untuk korupsi, tetapi juga kejahatan lain yang menyebabkan kerugian negara. “Negara memiliki hak untuk membela diri terhadap penambahan kekayaan yang tidak wajar. Pengaturan yang kuat sejalan dengan praktik dan konvensi internasional,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Muhammad Novian, S.H., M.H., Direktur Hukum dan Regulasi PPATK, menyoroti aspek tata kelola ekonomi dan dampak RUU terhadap kepercayaan pasar. “Iklim investasi akan semakin kondusif jika Indonesia berhasil mengesahkan RUU Perampasan Aset. Ini menunjukkan konsistensi Indonesia sebagai negara dengan sistem investasi yang bersih,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya perlindungan bagi pihak ketiga yang beritikad baik, terutama dalam kasus aset yang tercampur antara harta sah dan hasil kejahatan. “Mekanisme verifikasi dan keberatan pihak ketiga harus jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum,” tambahnya.
Dari aspek hukum acara, Maidina Rahmawati, S.H., LL.M., Deputi Direktur ICJR, menyoroti perlunya fondasi hukum acara yang kuat sebelum implementasi RUU. “Aturan hukum acaranya harus akuntabel terlebih dahulu. Misalnya, pada kondisi pelaku melarikan diri, definisi dan prosedurnya masih belum jelas. Ini berpotensi menimbulkan masalah dalam penegakan perampasan aset ke depan,” jelasnya.
Ia menegaskan pentingnya safeguards hukum acara pidana, kejelasan status perkara di tahap penyidikan, serta kewenangan Jaksa Agung dalam pengalihan atau pengelolaan aset. “Mekanisme pengalihan aset harus diatur secara rinci agar akuntabel,” ujarnya.
Dari sisi perumusan norma, Ganjar Laksmana Bonaprapta, S.H., M.H. (Tim Perumus RUU Perampasan Aset; Dosen Hukum Pidana FH UI) menjelaskan perbedaan antara perampasan aset sebagai pidana tambahan yang sudah dikenal dengan konsep baru perampasan tanpa putusan atas tindak pidana tertentu.
“Pertanyaannya, ini perampasan aset atau perampasan aset tindak pidana? Kalau sebagai pidana tambahan, KUHP sudah mengatur, tetapi dengan tantangan tertentu. RUU ini justru menempatkan perampasan sebagai instrumen yang tidak selalu bergantung pada pembuktian tindak pidana spesifik,” paparnya.
Ganjar merangkum tiga kata kunci utama dalam rancangan RUU: kekayaan yang tidak sesuai dengan profil, asal-usul kekayaan yang tidak jelas, dan pembuktian terbalik.
Sebagai penanggap dari kalangan akademik, Sultan Rambe, S.H., mahasiswa Magister Ilmu Hukum FH UI, menekankan pentingnya orientasi pemulihan aset (asset recovery) yang menyeluruh. “Orientasinya seharusnya pada pemulihan aset, bukan sekadar perampasan. Asset recovery mencakup penelusuran, pengamanan, pemeliharaan, perampasan, hingga pengembalian aset,” ujarnya.
Sultan juga mengkritisi ambang batas minimal Rp100 juta dalam draf RUU. “Ambang batas itu bisa menghambat pemulihan aset bernilai kecil. Sebaiknya dihapus agar semua aset hasil kejahatan dapat dipulihkan,” tambahnya.